Ketua Komisi II: Dia kasih makan, Apakah Itu Money Politic? - Kolumnis

Mobile Menu

Powered by Blogger.

MARITIM

More News

logoblog

Ketua Komisi II: Dia kasih makan, Apakah Itu Money Politic?

Friday, May 27, 2016
Rambe Kamarulzaman/ lombokita.com
Jika sebelumnya pelaku politik uang atau money politic bisa dipidana, ada wacana dalam revisi Undang-undang Pilkada yang tengah dibahas saat ini sanksi pidana dihapus. Hanya sanksi administratif saja, yaitu diskualifikasi.

Jikapun sanksi administatif ini diterapkan, perlu pemaknaan dan klasifikasi politik uang yang lebih komprehensif. Sehingga tidak salah dalam penerapannya.

"Dia kasih makan, apakah itu money politic? Dia kasih transport pulang, itu adalah kewenangan dari pasangan calon. Ndak bisa dikasih sanksi administratif," ujar Rambe Kamarulzaman Ketua Komisi II DPR, yang juga pimpinan Panja Revisi UU Pilkada kepada Rakyat Merdeka.

Seperti diketahui, memang tidak ada sanksi pidana untuk pelanggaran politik uang dalam UU Pilkada sebelumnya. Namun tindakan tersebut masih bisa dipidana dengan menggunakan KUHP atau aturan lain.

Lalu bagaimana sebenarnya kajian politik uang dalam pembahasan revisi UU Pilkada kali ini?

Berikut wawancara selengkapnya;

Kenapa tidak pidana saja?
Pidana tetap jalur pidana, cuma penyelesaiannya tadi administrasi bisa diambil. Misalnya money politic, yang dilarang itu kan tidak boleh memberikan atau menerima yang dapat mempengaruhi hak orang yang memilih itu. Makanya diatur dalam Undang-undang mana yang metode kampanye yang dilaksanakan oleh pasangan calon dan partai politik.

Jadi kajian politik uang itu seperti apa sebenarnya?
Kan yang bisa dilakukan itu adalah pertemuan terbatas. Itu sudah kita sepakati. Tatap muka, nggak bisa dilakukan oleh KPU itu, kan dalam pertemuan terbatas itu kumpul baik dalam suatu desa maupun dalam suatu tempat. Itu dibiayai oleh Paslon atau partai politik. Dia kasih makan, apakah itu money politic? Dia kasih transport pulang, itu adalah kewenangan dari pasangan calon. Ndak bisa dikasih sanksi administratif.

Kenapa nggak bisa?
Karena dinyatakan dalam Undang-undang itu resmi.

Jadi yang dinyatakan money politic itu seperti apa?
Terkecuali dibagi uang transport Rp 1 juta perorang. Itu kan di luar kepatutan. Kalau diberikan makan, ya macam mana orang mau ngumpul makan aja nggak. Bagaimana mau ngumpul kalau uang minyaknya nggak dikasih,

Apa akan diatur sedetil itu batasan-batasan yang tergolong money politic dalam revisi nanti?
Iya, di undang-undang ini kita tentukan.

Sudah ada kesepakatan?
Itu sudah hampir kesepakatan. Bahwa pembiayaan kampanye ditanggung oleh pasangan calon dan partai politic maupun perseoranan. Kedua ditanggung oleh yang tidak mengikat sumber pembiayaannya dan jumlahnya ditentukan, yang boleh berapa. Yang ketiga dari anggaran negara, misalnya pemasangan baliho, penempatan alat peraga, debat publik, itu harus dari pemerintah biar jangan perang publik, harus diatur oleh KPU.

Kenapa mau dilonggarkan seperti itu?
Karena sepinya selama ini kampanye. Maka itu dapat juga memasang alat peraga di bawah, berkoordinasi dengan KPU. Jadi dengan begini, kita terbuka. Nggak lagi bicara tentang mahar politik. Terbuka saja, dilaporkan.

Kembali ke politik uang. Artinya ada kemungkinan pelaku money politic tidak akan dipidana?
Ke ranah pidana itu bisa, cuma kan menunggunya cukup lama. Makanya kita berikan waktu. Jadi kalau menyangkut administratif bisa diselesaikan. Misalnya ada yang tertangkap, jika terbukti itu bisa langsung didiskualifikasi. Jadi kehati-hatian juga harus terjaga.

Kapan revisi UU ini rampung?
Undang-undang ini mudah-mudahan selesai Mei mendatang. Baru jabaran konkretnya di PKPU.

Sejauh ini, poin apa saja yang masih menggantung dan diperdebatkan?
Yang pertama, saya kira syarat calon belum tuntas. Kalau parpol dan gabungan parpol, masih ada dua alternatif, mudah-mudahan bisa putuslah. Tergantung partai politik. Kalau yang 20-25 persen itu masih ada yang menginginkan di fraksi. Pemerintah juga menginginkan.

Kenapa demikian?
20 persen dari kursi dan 25 persen dari jumlah suara yang diperoleh. Ini adalah karena kita berprinsip tetap satu putaran. Kecuali DKI, itu kan ada Undang-undang yang mengatur. Karenanya kualitas calon itu harus baik dari awal. Tapi ada juga yang menginginkan 15-20 persen partai politik atau gabungan partai politik. Karena perkembangannya sekarang kita tidak perlu menaikkan pasangan calon perseorangan. Tapi kita setarakan. Kalau 6,5-10 (persen) sebagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi itu dari jumlah penduduk dirubah menjadi Daftar Pemilih Tetap. Jadi ada rumusan untuk memperkuat verifikasi calon perseorangan. Basisnya untuk mengecek adalah KTP dari NIK, jadi jelas, tidak ada yang double. Harus benar bukan hanya mengumpulkan KTP. Kalau tidak benar dan bukan KTP yang sebenarnya harus diberikan teguran.

Terkait KTP atau NIK ganda bagaimana solusinya?
Nah sekarang Kementerian Dalam Negeri sudah punya cara untuk mengecek nama seseorang, NIK nya benar nggak. Kita kan ada beberapa juta NIK yang dipakai double. Itu harus dirumuskan, kita sudah punya kesepakatan. Bahwa verifikasinya harus lebih ketat.